Sahabat Matahari
Perlahan Yanti membuka tirai jendela, membiarkan cahaya matahari pagi menembus tiap sudut kamarnya. Didorongnya pintu jendela lebar-lebar dan dikeluarkannya tubuh mungil itu hingga dia bisa keluar menuju balkon di depan kamarnya.
“Selamat pagi matahari!” Teriaknya lantang seraya membentangkan kedua tangannya sejajar di pojok balkon menghadap arah terbitnya matahari.
“Pagi ini begitu cerah dan aku bersyukur masih diijinkan untuk menjumpaimu lagi hari ini. Semoga kamu juga tidak akan dan tidak pernah bosan menemaniku menjalani hari-hari yang kadang sangat melelahkan ini. Terimakasih matahari, aku menyayangimu. Sampaikan salamku kepada semua orang yang kau temui hari ini…mmuachhh!”. Kata-kata sama yang selalu Yanti ucapkan setiap kali dia menyapa matahari.
Yanti menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya saat angin semilir mulai menerbangkan rambut Yanti yang acak-acakan dan dengan jari-jarinya dia berusaha meluruskan kembali, namun wajah ceria yang sejak tadi terpampang sedikit demi sedikit mulai mengkerut saat didapatinya rambut rontok di jarinya semakin banyak. Yanti seperti sedang memikirkan sesuatu.
Tiiin…Tiiinnn…Suara klakson motor membubarkan lamunannya, seketika itu juga Yanti berusaha kembali tersenyum saat dilihatnya di bawah sudah ada Ferry dan motor warna hitam kesayangannya sudah bersiap-siap di balik pagar.
“Huhh…Ferry dan TTM item-nya sudah datang, berarti ini sudah jam setengah tujuh.” Gumam Yanti dalam hati.
Ferry memainkan kaca spion motornya, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan kearah Yanti.
“Hehh..Non, Ini sudah jam berapa ? kau mau ke kampus tidak ?”
“Seperi biasa Fer, tunggu aku setengah jam lagi ya !”.
“Dasar perempuan!”gerutu Ferry dalam hati.
Selesai mandi, cepat-cepat Yanti berlari menuruni tangga sambil menghiraukan rengekan Tasya, adiknya yang masih duduk di bangku kelas 5 SD merengek memohon agar diijinkan untuk memakai parfum milik kakaknya.
“Bukankah Ayah sudah melarang kamu untuk kuliah hari ini ? kamu harus istirahat untuk kesehatanmu besok pagi !”
“Tidak Ayah, aku akan semakin merasa sakit kalau aku hanya diam saja dan tidak punya kesibukan.”
“Tapi jangan salahkan Ayah kalau besok kondisimu memburuk.”
“Ayah tenang saja, Yanti tahu kok apa yang harus Yanti lakukan untuk besok. Yanti berangkat dulu ya, daahh…” Yanti mencium satu persatu pipi ayah, bunda dan adiknya di ruang makan.
“Aku siap Pak Sopir. Ta…rik!” Yanti duduk di jok belakang, kedua tangannya mencengkeram kuat tas ransel Ferry.
Ferry adalah sahabat Yanti sejak kecil, rumahnya hanya berjarak satu blok dari rumah Yanti. Lelaki itulah yang selama ini selalu sabar menemani, menghibur bahkan tidak jarang dibuat jengkel oleh Yanti. Pernah suatu hari dia dibuat bingung ketika Yanti mengalami sakit kepala yang hebat di tengah Mall sehabis mereka jalan-jalan. Mungkin itulah yang membuat persahabatan mereka begitu dekat hingga orang lain mengira mereka pacaran. Tapi Yanti lebih suka menganggap orang yang dia sayang sebagai sahabat daripada harus ada embel-embel pacaran dibelakangnya. Begitupula dengan Ferry, baginya Yanti adalah cewek terakhir yang akan dijadikannya pacar ketika sudah tidak ada lagi perempuan di dunia ini. Mendengar itu Yanti pasti akan membuat tubuh lelaki itu menjadi biru-biru.
Sepulang kuliah Yanti meminta Ferry membelokkan motornya menuju taman di tengah komplek perumahan elit di kota itu.
“Fer jam berapa sekarang?”
“Sudah hampir jam 12, mau apa kita kesini?”
Yanti berdiri dari duduknya menuju tanah lapang yang cukup luas, menatap matahari yang berada tepat diatas kepalanya.
“Lihat ! bayang-bayangku menghilang. Saat seperti inilah aku merasa lepas dari semua hal yang selalu mengikuti dan menghantuiku, meskipun mungkin hanya sebentar aku bisa sebebas ini.” Bersamaan dengan kata-kata Yanti, perlahan bayang-bayang tubuhnya kembali muncul seiring dengan condongnya matahari ke arah barat.
“Terus saja kau berjemur di sana ! sampai nanti kulitmu gosong dan aku tidak bisa membedakan yang mana kamu dan yang mana bayanganmu.”
Mendengar jawaban itu, segera Yanti mendaratkan tiga cubitan keras dan satu pukulan di lengan Ferry.
“Fer, aku takut menghadapi operasi penyakitku besok, bagaimana kalau Kanker yang ada di otakku ini tidak mau dibuang dan aku mati esok hari?” Yanti memetik bunga matahari yang ada diantara belukar. Sambil satu persatu membuangi kelopaknya seperti sedang menghitung.
“Hidup..mati..hidup..mati..hidup..” Belum habis kelopak yang ada pada bunga matahari, Ferry segera merebutnya.
“Aku tidak suka kamu seperti ini, kalau kamu melakukannya lagi lebih baik aku membunuhmu lebih dulu daripada harus menunggu dioperasi” Ferry beranjak dari duduknya meninggalkan Yanti sendiri. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir motornya, tanpa sengaja Ferry melanjutkan hitungan kelopak bunga matahari Yanti yang belum selesai dan air mata tak terasa jatuh saat hitungannya terhenti pada hitungan kata “…mati” Untunglah air mata itu tidak terlihat oleh Yanti yang berada jauh dibelakangnya.
Keesokan hari, matahari tidak terlihat. Ternyata ramalan cuaca yang Yanti dengar di radio kemarin benar, hari ini hujan turun deras sejak pagi. Tapi hal itu tidak bisa menunda jadwal operasi kanker otak yang dideritanya selama dua tahun terakhir. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Yanti menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil, memandangi tetesan air hujan yang mengalir di kaca jendela. Tangan kanannya meremas kuat-kuat lengan kanan Ferry didepannya yang saat itu mendapat tugas menyetir, sedangkan Ayah, Bunda dan adik Yanti hanya terdiam berusaha menyembunyikan kesedihan.
Air mata semakin deras mengalir saat Yanti bersiap memasuki ruang operasi, satu persatu Yanti memeluk mereka semua.
“Fer, tolong ambilkan boneka matahari di atas meja belajarku, aku lupa membawanya tadi, aku ingin melihatnya selesai operasi nanti!” bisik Yanti saat memeluk Ferry. Ferry membalasnya dengan kecupan di kening Yanti sambil memasang muka jelek, berharap mendapat senyuman disela-sela perasaan takutnya.
Operasi telah dimulai beberapa jam yang lalu dan selama itu pula kepala orang-orang terdekat Yanti tertunduk menunggu kabar dari dalam ruang operasi. Dan setelah beberapa lama akhirnya sosok lelaki dengan hidung dan mulut tertutup masker keluar dari ruang operasi.
“Operasi berjalan lancar, kini kita hanya harus menunggu sampai pasien sadar”
Semua yang berada di ruang itu sedikit tersenyum melepas ketegangan, tidak terkecuali Ferry yang segera pamit untuk mengambil boneka seperti pesan Yanti sebelum operasi tadi.
Dibukanya pintu kamar bercat kuning itu perlahan-lahan, kepala Ferry hanya menggeleng-geleng melihat seisi kamar yang dipenuhi pernik matahari. Cat tembok warna kuning yang bergradasi biru di tiap sudutnya itu cukup menyilaukan mata. Boneka matahari yang dimaksud berada tergeletak diatas meja namun pandangan Ferry terhenti pada sebuah amplop putih bertuliskan “dari Yanti untuk semua.” Ferry membuka dan membaca isi amplop yang menyerupai surat wasiat itu.
Untuk Ayah ~ Bunda tersayang,
Terimakasih atas semua kasih sayang yang diberikan untuk Yanti selama ini, kalian begitu tulus menyayangi Yanti meskipun Yanti tahu ada sesuatu yang kalian sembunyikan dari Yanti selama ini, bahwa Yanti bukan anak kandung kalian? Yanti tahu kok, Tapi Yanti tetap bahagia karena kalian memperlakukan Yanti seperti anak kalian sendiri bahkan mungkin sampai berlebihan, karena itulah Yanti baru mengetahui semuanya pada umur Yanti yang ke-20 ini. Yang membuat Yanti sedih, mengapa Yanti baru mengetahuinya sekarang? Mungkin seandainya Yanti mengetahuinya sejak dulu, setidaknya dengan sisa umur Yanti ini, Yanti bisa berusaha membahagiakan kalian, selalu menuruti kata-kata kalian dan tidak manja seperti yang terjadi sekarang. Tapi semua sudah terjadi, saat kalian membaca surat ini mungkin Yanti sudah ada di tempat yang jauh sekali, tapi Yanti akan selalu bahagia dan bersyukur telah memiliki kalian semua.
Oh iya untuk Tasya adikku tersayang, maafkan kakak kalau akhir-akhir ini kakak tidak pernah mau mengalah sama Tasya. Kakak sangat sayang sama Tasya. Sepeninggal kakak, Tasya harus janji mau menjaga Ayah dan Bunda baik-baik ya ! Sekarang Tasya juga bisa pakai semua parfum dan peralatan make-up kakak, semuanya sudah kakak siapkan di laci lemari kakak, Tasya ambil sendiri ya !
Dan yang terakhir untuk Ferry+TTM-itemnya. Terimakasih sudah mau menemani jalan-jalan terakhirku kemarin. Fer, aku mau jujur mengenai kata-kataku dulu yang pernah bilang tidak akan pernah tertarik sedikitpun sama kamu, ternyata aku bohong. Aku sangat menyukaimu, hanya saja aku tidak akan pernah tega menyampaikannya karena aku tahu suatu saat aku akan meninggalkanmmu dan itu akan sangat menyedihkan untuk kamu, seperti saat ini. Tapi jangan-jangan kamu malah senang dengan kepergianku ini ya? Karena sudah tidak ada lagi orang yang akan mencubit dan memukul lenganmu, awas kamu ! Pesanku, tolong lanjutkan kebiasaanku menyapa matahari di pagi hari dan cobalah bersahabat dengan matahariku. Aku menyayangi kalian semua.
Roosyanti
Ferry tertegun membaca surat wasiat yang dibuat Yanti. Ternyata banyak hal yang belum sempat diketahui tentang sahabatnya itu. Tak lama ponselnya bergetar di saku celana, dan akhirnya air mata yang sejak tadi terbendung dengan sendirinya mengalir setelah seseorang yang berbicara di ponselnya tadi mengabarkan bahwa Yanti telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa menit yang lalu ketika dia mengalami pendarahan di kepala sesaat setelah operasi selesai.
Rasa tidak percaya kini terlihat jelas di raut muka lelaki itu, dengan kertas yang ada digenggamanya, dia berharap semua ini hanya mimpi. Sesekali dia menarik nafas dalam-dalam dan berusaha mengusap air mata yang terus saja mengucur.
Setelah membaca doa ziarah, Ferry pandangi makam itu sekali lagi dan dia berbicara seakan-akan perempuan itu masih hidup dan hanya terbaring didepannya.
“Aku harap kamu puas sudah membuatku menjadi sesedih ini. Satu yang ingin aku kabarkan tentang mataharimu, bahwa matahari sore ini sedang sendiri, tidak seperti bulan yang setiap malamnya selalu ada bintang menemani, mungkin yang ada hanya beberapa awan mengganggu menghalangi. Tapi matahari tetap tidak perduli, dia tidak pernah mengeluh dan merasa kesepian menjalankan tugas menyinari bunga, rumput-rumput yang ada di halaman belakang dan semua yang ada di atas bumi ini. Matahari juga masih tetap rendah hati, mau berbagi siang dengan malam sehingga selalu saja ada keseimbangan.”
Kemudian Ferry meletakkan setangkai bunga matahari diatas batu nisan Yanti dan melangkahkan kakinya pulang.
Readmore »»