Minggu, 09 Januari 2011

Inovasi Pemanfaatan Internet di Dunia Kedokteran

1. Operasi Menggunakan Robot
Teknologi ini menggunakan robot sebagai alat bantu. Robot ini terhubung dengan internet sehingga dokter tidak harus datang langsung saat mengoperasi pasien. Robot tersebut langsung terhubung dengan alat gerak dan otak dokter yang berwenang untuk mengoperasi pasien tersebut. Dengan demikian, terdapat sinergi antara dokter dan robot pengoperasi


2. Web Khusus Mahasiswa Kedokteran
Membuat web khusus mahasiswa kedokteran yang administratornya berkompeten dalam bidang kedokteran dan IT sehingga para mahasiswa dapat dengan mudah mengakses informasi terbaru tentang dunia kedokteran
3. Aplikasi Ruang Operasi
Membuat suatu aplikasi yang di dalamnya terdapat koneksi langsung dengan sebuah ruang operasi sehingga langsug bisa mempelajari dan mengetahui tentang jalannya sebuah operasi
By :
Sirlita Rosa F (10700112)
Riski Agustina F (10700216)

Readmore »»

Rabu, 17 Desember 2008

Sidney

We have 5 continents in the world, they are America, Europe, Africa, Asia, and Australia. Australia is the smallest continent in the world. But, it has uniqueness. It is surrounded by Hindia ocean. It lies in south of Indonesia.


Sidney is the most populous city in Australia, with a metropolitan area population of approximately 4.28 million. It is the state capital of New South Wales.
There are many interesting place in Sidney, such as The Sidney Opera House, Harbour Bidge, etc. it is surrounded by national park, and contain many bays river and in lets.
Sidney is one of the most multicultural city in the world which reflects its role as major destination for immigrants to Australia. It is the most expensive city in Austalia and the 21th most expensive in the world.

Readmore »»

Yang tertinggal

Yang Tertinggal…
dan Tak Bisa diambil Kembali…

Aku injak pedal gas dalam-dalam. Sudah jam 15.00, tentulah semua sudah menunggu sejak tadi. Menunggu untuk melakukan perjalanan singkat menuju kesenangan. Kesenangan yang kami maksud bukan berarti kami akan menghambur-hamburkan uang saku yang sudah pas-pasan, pergi melancong ke mall-mall, melantai di diskotik sudut kota, ataupun menyanyi lagu rock cadas di lepas pantai. Kami bukan golongan seperti itu, kami bukan golongan hedonis yang narsis. Kesenangan yang kami maksud hari itu ialah membuat Irine melupakan patah hatinya, membuat Siska mau kembali pada orang tuanya dan yang tak kalah penting ialah mengentas Setro dari kesulitan ekonominya.
Di depan rumah kontrakan Setro, semua sudah berkumpul, bisa kulihat wajah mereka yang seperti telah sepakat ditekuk dalam berbagai ekspresi bersama-sama.


“Dasar kunting lamban…..!!”
“Jam karet…!”
“Brengsek…!”
“Rasakan ini…!”
Teriak mereka bersama-sama seperti biasa saat aku melakukan kesalahan yang pada ujungnya akan selalu berakhir dengan baju lusuh, rambut acak-acakan serta lengan biru-biru karena cubitan dan jambakan mereka. Apalagi Hera, dia satu-satunya orang yang memiliki motiv paling kuat untuk membunuhku. Tidak jarang sepatu-sandalnya melayang keras menghujani punggungku, pernah juga beberapa kali dia memasukkan bumbu kentang goreng kedalam minumanku. Meskipun begitu, aku tetap akan merasa kehilangan saat dia tidak ada diantara kami.
Semua sudah menempati posisi masing-masing, Setro yang duduk di kursi depan masih saja bergelut dengan safety belt, Irine, Siska, dan Hera duduk di kursi tengah, sedangkan Teguh yang memiliki kebiasaan menempelkan wajah pada kaca mobil harus rela duduk di belakang yang penuh sesak dengan perangkat audio. Kerap kali ia membuat pengendara lain yang ada dibelakang mobil tertawa terpingkal-pingkal bahkan pernah suatu saat hidungnya terjepit ketika power window kuaktifkan.
Sudah lima kali mobilku memutari bundaran H.R. Muhammad, tapi masih saja kami belum bisa memutuskan tujuan. Semuanya tertunduk lesu, tidak ada yang berani mengajukan ide-ide yang biasanya gila, begitupun dengan Hera yang sepertinya enggan mengumbar senyum melihat Irine dan Siska yang sedang bersedih.
“Ke Toko buku”, pilihan yang tepat, gumamku dalam hati. Mungkin dengan membaca semuanya bisa menyelesaikan masalah masing-masing. Seperti yang sudah aku kira, Irine terlihat diantara tumpukan buku-buku tentang cinta, Siska di lorong psikologi dan Setro di lorong ekonomi. Teguh yang sejak tadi menguntit di belakangku terpaksa beberapa kali menutup mata sambil membuka-buka majalah pria dewasa. Ditanganku sendiri masih ada dua majalah otomotif yang belum terbuka kemasannya.
Hera, manusia itu mana mungkin mau baca-baca buku, pastilah dia berada di ruang sebelah memandangi etalase berisi pernik-pernik alat tulis. Ah, sepertinya aku keliru, kali ini dia di lorong humor membalik lembar demi lembar sambil tertawa mencuri perhatian pengunjung di sekitarnya.
Hampir tiga jam berada di tempat itu, tak satupun diantara kami yang terlihat mendekati kasir. Irine yang sejak tadi bercakap-cakap dengan salah satu karyawan berdasi itu juga harus mengalihkan perhatiannya saat aku dan yang lain terbahak-bahak mendengarkan Hera membaca buku humor.
“Bruakk..” tanpa sengaja Hera menyenggol tumpukan buku dibelakangnya, cepat-cepat kami menatanya kembali, meminta maaf pada security, dan sesegera mungkin meninggalkan toko itu.
“Dasar ceroboh..!” Teriak kami semua pada Hera di dalam mobil, semua tertawa, termasuk Irine yang sejak keluar dari toko sibuk membolak-balik kartu nama karyawan yang bercakap-cakap dengannya tadi. Yang lebih memecah tawa kami saat sepatah kata diucapkan Siska untuk minta diantar pulang kerumahnya. Satu-satunya yang masih terlihat sedih hanya Setro yang merasa belum mendapat penyelesaian atas masalah ekonominya.
“Sudah..pasrahkan saja nasibmu, kau memang ditakdirkan untuk hidup miskin Tro..!” ucap Teguh dari kursi belakang. Setro hanya menggerutu sambil sesekali diacungkannya celengan berbentuk ayam yang dibelinya.
Semua sudah diantar kerumah masing-masing, tinggal Hera yang rumahnya memang paling jauh diantara yang lain. Berdua didalam mobil, kami hanya terlihat sesekali menahan tawa, bahkan tertawa sendiri mengingat-ingat kejadian tadi.
“Kira-kira apa yang dilakukan Siska dirumahnya saat ini ya ?”
“Pasti dia lagi memeluk bantal gulingnya erat, sebab sudah beberapa hari ini dia tidur beralas tikar dirumah Irine”. Jawab Hera ketus
“Kalau Irine sendiri ?”
“Anak itu, pasti sudah ada di wartel memburu mangsa barunya tadi”
“Dan Setro ?”
“Lagi masukin koin pertamanya kedalam celengan baru ! Puas…?! Cerewet banget sich!”
“Aku cuma nanya, kemana keresahan yang kemarin membuat mereka sedih ?”
“Ketinggalan di toko buku mungkin, he…he…he… yang jelas, apapun yang terjadi pada mereka pasti mereka akan baik-baik saja.”
“Juga yang terjadi pada kita ?” tanyaku dengan nada yang samar.
Hera cepat-cepat turun dari mobil, membanting pintu dan tersenyum melambaikan tangan kearahku. Dia belum sempat menjawab pertanyaan terakhir tadi, aku tahu dia pasti juga memikirkannya.
Tidak lama ponselku bergetar. Sebuah pesan pendek masuk.
Terpaksa aku ambil jalan memutar kembali kerumah Hera. Sunroof mobil kubuka dan kukeluarkan separuh tubuhku, Dari atap mobil kulihat Hera sudah berada di balik pagar rumahnya tersenyum simpul.
“Hari ini HPmu yang tertinggal, besok mungkin telingamu….dasar ceroboh!”
“Enak aja, kalau telingaku yang tertinggal pasti gak akan kamu kembaliin kan ? kamu memang paling senang kalau lihat aku…….”
Belum sempat Hera menyelesaikan perkataannya, kuinjak pedal gas meninggalkan tempat itu hingga yang tersisa hanya kilau krom velg Garson DAD Zuenglin 20 inch.
Lagi-lagi ponselku bergetar, kali ini Hera hanya miscall. Aku kirimi dia sebuah pesan singkat.
”Kututup pintu garasi berharap tak akan ada pencuri yang berani mengambil barang yang ditinggalkan Hera di hatiku.”

Readmore »»

Sahabat Matahari

Sahabat Matahari

Perlahan Yanti membuka tirai jendela, membiarkan cahaya matahari pagi menembus tiap sudut kamarnya. Didorongnya pintu jendela lebar-lebar dan dikeluarkannya tubuh mungil itu hingga dia bisa keluar menuju balkon di depan kamarnya.
“Selamat pagi matahari!” Teriaknya lantang seraya membentangkan kedua tangannya sejajar di pojok balkon menghadap arah terbitnya matahari.
“Pagi ini begitu cerah dan aku bersyukur masih diijinkan untuk menjumpaimu lagi hari ini. Semoga kamu juga tidak akan dan tidak pernah bosan menemaniku menjalani hari-hari yang kadang sangat melelahkan ini. Terimakasih matahari, aku menyayangimu. Sampaikan salamku kepada semua orang yang kau temui hari ini…mmuachhh!”. Kata-kata sama yang selalu Yanti ucapkan setiap kali dia menyapa matahari.


Yanti menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya saat angin semilir mulai menerbangkan rambut Yanti yang acak-acakan dan dengan jari-jarinya dia berusaha meluruskan kembali, namun wajah ceria yang sejak tadi terpampang sedikit demi sedikit mulai mengkerut saat didapatinya rambut rontok di jarinya semakin banyak. Yanti seperti sedang memikirkan sesuatu.
Tiiin…Tiiinnn…Suara klakson motor membubarkan lamunannya, seketika itu juga Yanti berusaha kembali tersenyum saat dilihatnya di bawah sudah ada Ferry dan motor warna hitam kesayangannya sudah bersiap-siap di balik pagar.
“Huhh…Ferry dan TTM item-nya sudah datang, berarti ini sudah jam setengah tujuh.” Gumam Yanti dalam hati.
Ferry memainkan kaca spion motornya, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan kearah Yanti.
“Hehh..Non, Ini sudah jam berapa ? kau mau ke kampus tidak ?”
“Seperi biasa Fer, tunggu aku setengah jam lagi ya !”.
“Dasar perempuan!”gerutu Ferry dalam hati.
Selesai mandi, cepat-cepat Yanti berlari menuruni tangga sambil menghiraukan rengekan Tasya, adiknya yang masih duduk di bangku kelas 5 SD merengek memohon agar diijinkan untuk memakai parfum milik kakaknya.
“Bukankah Ayah sudah melarang kamu untuk kuliah hari ini ? kamu harus istirahat untuk kesehatanmu besok pagi !”
“Tidak Ayah, aku akan semakin merasa sakit kalau aku hanya diam saja dan tidak punya kesibukan.”
“Tapi jangan salahkan Ayah kalau besok kondisimu memburuk.”
“Ayah tenang saja, Yanti tahu kok apa yang harus Yanti lakukan untuk besok. Yanti berangkat dulu ya, daahh…” Yanti mencium satu persatu pipi ayah, bunda dan adiknya di ruang makan.
“Aku siap Pak Sopir. Ta…rik!” Yanti duduk di jok belakang, kedua tangannya mencengkeram kuat tas ransel Ferry.
Ferry adalah sahabat Yanti sejak kecil, rumahnya hanya berjarak satu blok dari rumah Yanti. Lelaki itulah yang selama ini selalu sabar menemani, menghibur bahkan tidak jarang dibuat jengkel oleh Yanti. Pernah suatu hari dia dibuat bingung ketika Yanti mengalami sakit kepala yang hebat di tengah Mall sehabis mereka jalan-jalan. Mungkin itulah yang membuat persahabatan mereka begitu dekat hingga orang lain mengira mereka pacaran. Tapi Yanti lebih suka menganggap orang yang dia sayang sebagai sahabat daripada harus ada embel-embel pacaran dibelakangnya. Begitupula dengan Ferry, baginya Yanti adalah cewek terakhir yang akan dijadikannya pacar ketika sudah tidak ada lagi perempuan di dunia ini. Mendengar itu Yanti pasti akan membuat tubuh lelaki itu menjadi biru-biru.
Sepulang kuliah Yanti meminta Ferry membelokkan motornya menuju taman di tengah komplek perumahan elit di kota itu.
“Fer jam berapa sekarang?”
“Sudah hampir jam 12, mau apa kita kesini?”
Yanti berdiri dari duduknya menuju tanah lapang yang cukup luas, menatap matahari yang berada tepat diatas kepalanya.
“Lihat ! bayang-bayangku menghilang. Saat seperti inilah aku merasa lepas dari semua hal yang selalu mengikuti dan menghantuiku, meskipun mungkin hanya sebentar aku bisa sebebas ini.” Bersamaan dengan kata-kata Yanti, perlahan bayang-bayang tubuhnya kembali muncul seiring dengan condongnya matahari ke arah barat.
“Terus saja kau berjemur di sana ! sampai nanti kulitmu gosong dan aku tidak bisa membedakan yang mana kamu dan yang mana bayanganmu.”
Mendengar jawaban itu, segera Yanti mendaratkan tiga cubitan keras dan satu pukulan di lengan Ferry.
“Fer, aku takut menghadapi operasi penyakitku besok, bagaimana kalau Kanker yang ada di otakku ini tidak mau dibuang dan aku mati esok hari?” Yanti memetik bunga matahari yang ada diantara belukar. Sambil satu persatu membuangi kelopaknya seperti sedang menghitung.
“Hidup..mati..hidup..mati..hidup..” Belum habis kelopak yang ada pada bunga matahari, Ferry segera merebutnya.
“Aku tidak suka kamu seperti ini, kalau kamu melakukannya lagi lebih baik aku membunuhmu lebih dulu daripada harus menunggu dioperasi” Ferry beranjak dari duduknya meninggalkan Yanti sendiri. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir motornya, tanpa sengaja Ferry melanjutkan hitungan kelopak bunga matahari Yanti yang belum selesai dan air mata tak terasa jatuh saat hitungannya terhenti pada hitungan kata “…mati” Untunglah air mata itu tidak terlihat oleh Yanti yang berada jauh dibelakangnya.
Keesokan hari, matahari tidak terlihat. Ternyata ramalan cuaca yang Yanti dengar di radio kemarin benar, hari ini hujan turun deras sejak pagi. Tapi hal itu tidak bisa menunda jadwal operasi kanker otak yang dideritanya selama dua tahun terakhir. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Yanti menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil, memandangi tetesan air hujan yang mengalir di kaca jendela. Tangan kanannya meremas kuat-kuat lengan kanan Ferry didepannya yang saat itu mendapat tugas menyetir, sedangkan Ayah, Bunda dan adik Yanti hanya terdiam berusaha menyembunyikan kesedihan.
Air mata semakin deras mengalir saat Yanti bersiap memasuki ruang operasi, satu persatu Yanti memeluk mereka semua.
“Fer, tolong ambilkan boneka matahari di atas meja belajarku, aku lupa membawanya tadi, aku ingin melihatnya selesai operasi nanti!” bisik Yanti saat memeluk Ferry. Ferry membalasnya dengan kecupan di kening Yanti sambil memasang muka jelek, berharap mendapat senyuman disela-sela perasaan takutnya.
Operasi telah dimulai beberapa jam yang lalu dan selama itu pula kepala orang-orang terdekat Yanti tertunduk menunggu kabar dari dalam ruang operasi. Dan setelah beberapa lama akhirnya sosok lelaki dengan hidung dan mulut tertutup masker keluar dari ruang operasi.
“Operasi berjalan lancar, kini kita hanya harus menunggu sampai pasien sadar”
Semua yang berada di ruang itu sedikit tersenyum melepas ketegangan, tidak terkecuali Ferry yang segera pamit untuk mengambil boneka seperti pesan Yanti sebelum operasi tadi.
Dibukanya pintu kamar bercat kuning itu perlahan-lahan, kepala Ferry hanya menggeleng-geleng melihat seisi kamar yang dipenuhi pernik matahari. Cat tembok warna kuning yang bergradasi biru di tiap sudutnya itu cukup menyilaukan mata. Boneka matahari yang dimaksud berada tergeletak diatas meja namun pandangan Ferry terhenti pada sebuah amplop putih bertuliskan “dari Yanti untuk semua.” Ferry membuka dan membaca isi amplop yang menyerupai surat wasiat itu.

Untuk Ayah ~ Bunda tersayang,
Terimakasih atas semua kasih sayang yang diberikan untuk Yanti selama ini, kalian begitu tulus menyayangi Yanti meskipun Yanti tahu ada sesuatu yang kalian sembunyikan dari Yanti selama ini, bahwa Yanti bukan anak kandung kalian? Yanti tahu kok, Tapi Yanti tetap bahagia karena kalian memperlakukan Yanti seperti anak kalian sendiri bahkan mungkin sampai berlebihan, karena itulah Yanti baru mengetahui semuanya pada umur Yanti yang ke-20 ini. Yang membuat Yanti sedih, mengapa Yanti baru mengetahuinya sekarang? Mungkin seandainya Yanti mengetahuinya sejak dulu, setidaknya dengan sisa umur Yanti ini, Yanti bisa berusaha membahagiakan kalian, selalu menuruti kata-kata kalian dan tidak manja seperti yang terjadi sekarang. Tapi semua sudah terjadi, saat kalian membaca surat ini mungkin Yanti sudah ada di tempat yang jauh sekali, tapi Yanti akan selalu bahagia dan bersyukur telah memiliki kalian semua.
Oh iya untuk Tasya adikku tersayang, maafkan kakak kalau akhir-akhir ini kakak tidak pernah mau mengalah sama Tasya. Kakak sangat sayang sama Tasya. Sepeninggal kakak, Tasya harus janji mau menjaga Ayah dan Bunda baik-baik ya ! Sekarang Tasya juga bisa pakai semua parfum dan peralatan make-up kakak, semuanya sudah kakak siapkan di laci lemari kakak, Tasya ambil sendiri ya !
Dan yang terakhir untuk Ferry+TTM-itemnya. Terimakasih sudah mau menemani jalan-jalan terakhirku kemarin. Fer, aku mau jujur mengenai kata-kataku dulu yang pernah bilang tidak akan pernah tertarik sedikitpun sama kamu, ternyata aku bohong. Aku sangat menyukaimu, hanya saja aku tidak akan pernah tega menyampaikannya karena aku tahu suatu saat aku akan meninggalkanmmu dan itu akan sangat menyedihkan untuk kamu, seperti saat ini. Tapi jangan-jangan kamu malah senang dengan kepergianku ini ya? Karena sudah tidak ada lagi orang yang akan mencubit dan memukul lenganmu, awas kamu ! Pesanku, tolong lanjutkan kebiasaanku menyapa matahari di pagi hari dan cobalah bersahabat dengan matahariku. Aku menyayangi kalian semua.

Roosyanti

Ferry tertegun membaca surat wasiat yang dibuat Yanti. Ternyata banyak hal yang belum sempat diketahui tentang sahabatnya itu. Tak lama ponselnya bergetar di saku celana, dan akhirnya air mata yang sejak tadi terbendung dengan sendirinya mengalir setelah seseorang yang berbicara di ponselnya tadi mengabarkan bahwa Yanti telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa menit yang lalu ketika dia mengalami pendarahan di kepala sesaat setelah operasi selesai.
Rasa tidak percaya kini terlihat jelas di raut muka lelaki itu, dengan kertas yang ada digenggamanya, dia berharap semua ini hanya mimpi. Sesekali dia menarik nafas dalam-dalam dan berusaha mengusap air mata yang terus saja mengucur.
Setelah membaca doa ziarah, Ferry pandangi makam itu sekali lagi dan dia berbicara seakan-akan perempuan itu masih hidup dan hanya terbaring didepannya.
“Aku harap kamu puas sudah membuatku menjadi sesedih ini. Satu yang ingin aku kabarkan tentang mataharimu, bahwa matahari sore ini sedang sendiri, tidak seperti bulan yang setiap malamnya selalu ada bintang menemani, mungkin yang ada hanya beberapa awan mengganggu menghalangi. Tapi matahari tetap tidak perduli, dia tidak pernah mengeluh dan merasa kesepian menjalankan tugas menyinari bunga, rumput-rumput yang ada di halaman belakang dan semua yang ada di atas bumi ini. Matahari juga masih tetap rendah hati, mau berbagi siang dengan malam sehingga selalu saja ada keseimbangan.”
Kemudian Ferry meletakkan setangkai bunga matahari diatas batu nisan Yanti dan melangkahkan kakinya pulang.

Readmore »»

Leonardo Da Vinci

Leonardo da Vinci
________________________________________
Born: 15 April 1452 in Vinci (near Empolia), Italy
Died: 2 May 1519 in Cloux, Amboise, France
Leonardo da Vinci was educated in his father's house receiving the usual elementary education of reading, writing and arithmetic. In 1467 he became an apprentice learning painting, sculpture and acquiring technical and mechanical skills. He was accepted into the painters' guild in Florence in 1472 but he continued to work as an apprentice until 1477. From that time he worked for himself in Florence as a painter. Already during this time he sketched pumps, military weapons and other machines.


Between 1482 and 1499 Leonardo was in the service of the Duke of Milan. He was described in a list of the Duke's staff as a painter and engineer of the duke. As well as completing six paintings during his time in the Duke's service he also advised on architecture, fortifications and military matters. He was also considered as a hydraulic and mechanical engineer.
During his time in Milan, Leonardo became interested in geometry. He read Leon Battista Alberti's books on architecture and Piero della Francesca's On Perspective in Painting. He illustrated Pacioli's Divina proportione and he continued to work with Pacioli and is reported to have neglected his painting because he became so engrossed in geometry.
Leonardo studied Euclid and Pacioli's Suma and began his own geometry research, sometimes giving mechanical solutions. He gave several methods of squaring the circle, again using mechanical methods. He wrote a book, around this time, on the elementary theory of mechanics which appeared in Milan around 1498.
Leonardo certainly realised the possibility of constructing a telescope and in Codex Atlanticus written in 1490 he talks of
... making glasses to see the Moon enlarged.
In a later work, Codex Arundul written about 1513, he says that
... in order to observe the nature of the planets, open the roof and bring the image of a single planet onto the base of a concave mirror. The image of the planet reflected by the base will show the surface of the planet much magnified.
See [28] for more details of this quotation and more of Leonardo's ideas about the Universe. He understood the fact that the Moon shone with reflected light from the Sun and he correctly explained the 'old Moon in the new Moon's arms' as the Moon's surface illuminated by light reflected from the Earth. He thought of the Moon as being similar to the Earth with seas and areas of solid ground.
In 1499 the French armies entered Milan and the Duke was defeated. Some months later Leonardo left Milan together with Pacioli. He travelled to Mantua, Venice and finally reached Florence. Although he was under constant pressure to paint, mathematical studies kept him away from his painting activity much of the time. He was for a time employed by Cesare Borgia as a senior military architect and general engineer.
By 1503 he was back in Florence advising on the project to divert the River Arno behind Pisa to help with the siege of the city which the Florentines were engaged in. He then produced plans for a canal to allow Florence access to the sea. The canal was never built nor was the River Arno diverted.
In 1506 Leonardo returned for a second period in Milan. Again his scientific work took precedence over his painting and he was involved in hydrodynamics, anatomy, mechanics, mathematics and optics.
In 1513 the French were removed from Milan and Leonardo moved again, this time to Rome. However he seems to have led a lonely life in Rome again more devoted to mathematical studies and technical experiments in his studio than to painting. After three years of unhappiness Leonardo accepted an invitation from King Francis I to enter his service in France.
The French King gave Leonardo the title of
first painter, architect, and mechanic of the King
but seems to have left him to do as he pleased. This means that Leonardo did no painting except to finish off some works he had with him, St. John the Baptist, Mona Lisa and the Virgin and Child with St Anne. Leonardo spent most of his time arranging and editing his scientific studies.
Article by: J J O'Connor and E F Roberts.

Readmore »»