Yang Tertinggal…
dan Tak Bisa diambil Kembali…
Aku injak pedal gas dalam-dalam. Sudah jam 15.00, tentulah semua sudah menunggu sejak tadi. Menunggu untuk melakukan perjalanan singkat menuju kesenangan. Kesenangan yang kami maksud bukan berarti kami akan menghambur-hamburkan uang saku yang sudah pas-pasan, pergi melancong ke mall-mall, melantai di diskotik sudut kota, ataupun menyanyi lagu rock cadas di lepas pantai. Kami bukan golongan seperti itu, kami bukan golongan hedonis yang narsis. Kesenangan yang kami maksud hari itu ialah membuat Irine melupakan patah hatinya, membuat Siska mau kembali pada orang tuanya dan yang tak kalah penting ialah mengentas Setro dari kesulitan ekonominya.
Di depan rumah kontrakan Setro, semua sudah berkumpul, bisa kulihat wajah mereka yang seperti telah sepakat ditekuk dalam berbagai ekspresi bersama-sama.
“Dasar kunting lamban…..!!”
“Jam karet…!”
“Brengsek…!”
“Rasakan ini…!”
Teriak mereka bersama-sama seperti biasa saat aku melakukan kesalahan yang pada ujungnya akan selalu berakhir dengan baju lusuh, rambut acak-acakan serta lengan biru-biru karena cubitan dan jambakan mereka. Apalagi Hera, dia satu-satunya orang yang memiliki motiv paling kuat untuk membunuhku. Tidak jarang sepatu-sandalnya melayang keras menghujani punggungku, pernah juga beberapa kali dia memasukkan bumbu kentang goreng kedalam minumanku. Meskipun begitu, aku tetap akan merasa kehilangan saat dia tidak ada diantara kami.
Semua sudah menempati posisi masing-masing, Setro yang duduk di kursi depan masih saja bergelut dengan safety belt, Irine, Siska, dan Hera duduk di kursi tengah, sedangkan Teguh yang memiliki kebiasaan menempelkan wajah pada kaca mobil harus rela duduk di belakang yang penuh sesak dengan perangkat audio. Kerap kali ia membuat pengendara lain yang ada dibelakang mobil tertawa terpingkal-pingkal bahkan pernah suatu saat hidungnya terjepit ketika power window kuaktifkan.
Sudah lima kali mobilku memutari bundaran H.R. Muhammad, tapi masih saja kami belum bisa memutuskan tujuan. Semuanya tertunduk lesu, tidak ada yang berani mengajukan ide-ide yang biasanya gila, begitupun dengan Hera yang sepertinya enggan mengumbar senyum melihat Irine dan Siska yang sedang bersedih.
“Ke Toko buku”, pilihan yang tepat, gumamku dalam hati. Mungkin dengan membaca semuanya bisa menyelesaikan masalah masing-masing. Seperti yang sudah aku kira, Irine terlihat diantara tumpukan buku-buku tentang cinta, Siska di lorong psikologi dan Setro di lorong ekonomi. Teguh yang sejak tadi menguntit di belakangku terpaksa beberapa kali menutup mata sambil membuka-buka majalah pria dewasa. Ditanganku sendiri masih ada dua majalah otomotif yang belum terbuka kemasannya.
Hera, manusia itu mana mungkin mau baca-baca buku, pastilah dia berada di ruang sebelah memandangi etalase berisi pernik-pernik alat tulis. Ah, sepertinya aku keliru, kali ini dia di lorong humor membalik lembar demi lembar sambil tertawa mencuri perhatian pengunjung di sekitarnya.
Hampir tiga jam berada di tempat itu, tak satupun diantara kami yang terlihat mendekati kasir. Irine yang sejak tadi bercakap-cakap dengan salah satu karyawan berdasi itu juga harus mengalihkan perhatiannya saat aku dan yang lain terbahak-bahak mendengarkan Hera membaca buku humor.
“Bruakk..” tanpa sengaja Hera menyenggol tumpukan buku dibelakangnya, cepat-cepat kami menatanya kembali, meminta maaf pada security, dan sesegera mungkin meninggalkan toko itu.
“Dasar ceroboh..!” Teriak kami semua pada Hera di dalam mobil, semua tertawa, termasuk Irine yang sejak keluar dari toko sibuk membolak-balik kartu nama karyawan yang bercakap-cakap dengannya tadi. Yang lebih memecah tawa kami saat sepatah kata diucapkan Siska untuk minta diantar pulang kerumahnya. Satu-satunya yang masih terlihat sedih hanya Setro yang merasa belum mendapat penyelesaian atas masalah ekonominya.
“Sudah..pasrahkan saja nasibmu, kau memang ditakdirkan untuk hidup miskin Tro..!” ucap Teguh dari kursi belakang. Setro hanya menggerutu sambil sesekali diacungkannya celengan berbentuk ayam yang dibelinya.
Semua sudah diantar kerumah masing-masing, tinggal Hera yang rumahnya memang paling jauh diantara yang lain. Berdua didalam mobil, kami hanya terlihat sesekali menahan tawa, bahkan tertawa sendiri mengingat-ingat kejadian tadi.
“Kira-kira apa yang dilakukan Siska dirumahnya saat ini ya ?”
“Pasti dia lagi memeluk bantal gulingnya erat, sebab sudah beberapa hari ini dia tidur beralas tikar dirumah Irine”. Jawab Hera ketus
“Kalau Irine sendiri ?”
“Anak itu, pasti sudah ada di wartel memburu mangsa barunya tadi”
“Dan Setro ?”
“Lagi masukin koin pertamanya kedalam celengan baru ! Puas…?! Cerewet banget sich!”
“Aku cuma nanya, kemana keresahan yang kemarin membuat mereka sedih ?”
“Ketinggalan di toko buku mungkin, he…he…he… yang jelas, apapun yang terjadi pada mereka pasti mereka akan baik-baik saja.”
“Juga yang terjadi pada kita ?” tanyaku dengan nada yang samar.
Hera cepat-cepat turun dari mobil, membanting pintu dan tersenyum melambaikan tangan kearahku. Dia belum sempat menjawab pertanyaan terakhir tadi, aku tahu dia pasti juga memikirkannya.
Tidak lama ponselku bergetar. Sebuah pesan pendek masuk.
Terpaksa aku ambil jalan memutar kembali kerumah Hera. Sunroof mobil kubuka dan kukeluarkan separuh tubuhku, Dari atap mobil kulihat Hera sudah berada di balik pagar rumahnya tersenyum simpul.
“Hari ini HPmu yang tertinggal, besok mungkin telingamu….dasar ceroboh!”
“Enak aja, kalau telingaku yang tertinggal pasti gak akan kamu kembaliin kan ? kamu memang paling senang kalau lihat aku…….”
Belum sempat Hera menyelesaikan perkataannya, kuinjak pedal gas meninggalkan tempat itu hingga yang tersisa hanya kilau krom velg Garson DAD Zuenglin 20 inch.
Lagi-lagi ponselku bergetar, kali ini Hera hanya miscall. Aku kirimi dia sebuah pesan singkat.
”Kututup pintu garasi berharap tak akan ada pencuri yang berani mengambil barang yang ditinggalkan Hera di hatiku.”
0 komentar:
Posting Komentar